Makalah Filsafat Pendidikan – Aliran
Perenialisme Dalam Filsafat Pendidikan
ALIRAN
PERENIALISME
DALAM
FILSAFAT PENDIDIKAN
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu Dr. Yosaphat Haris
Nusarastriya, M.Si dan Dr. Pamerdi Giriwiloso, MA
disusun oleh
:
1. Monica
Ganeip Pertiwi ( 942014004 )
2. Edna
Maria ( 942014014 )
3. Nehtry. E. M. Merukh ( 942014070 )
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA ( UKSW )
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
2014
Puji syukur ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan limpahan kasih – Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Aliran Perenialisme Dalam
Filsafat Pendidikan”, sehingga makalah ini tersusun dengan baik.
Apa yang telah tersaji ini juga tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, oleh karena itu perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Dr. Yosaphat Haris Nusarastriya, M.Si dan Bapak Dr. Pamerdi
Giriwiloso, MA selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan, yang
telah membantu dan membimbing dalam penyusunan makalah ini;
2. Para Dosen UKSW Salatiga yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga
penulis mampu menyelesaikan penulisan makalah ini;
3. Staf Perpustakaan UKSW Salatiga yang telah membantu penulis dalam
memperoleh buku – buku referensi yang diperlukan dalam penulisan makalah ini;
4. Pihak – pihak lain yang membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
bahkan masih banyak kekurangan dan kesalahan dari segi bahasa atau isinya.
Untuk itu, penulis berharap agar pembaca berkenan memberikan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaannya.
Semoga yang
tersaji dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin.
Salatiga, 3 Juni 2014
Penulis,
Kelompok VII
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah perkembangan filsafat pada umumnya dimulai
dari mitologi yang berkembang di masyarakat Yunani Kuno. Sebelum filsafat
berdiri dengan jati dirinya yang asli sebagai filsafat, mitos merupakan
filsafat itu sendiri yang menurut penciptanya sama sekali bukan mitos,
melainkan cara berpikir empiris, logis, dan realistis. Perkembangan filsafat
mulai Yunani Kuno hingga zaman modern dan pasca-modernisme mengantarkan kita
pada zaman kegemilangan pengetahuan bagi kehidupan manusia di dunia.
Perkembangan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari terbentuknya filsafat
pendidikan. Latar belakang setiap perkembangan mengisyaratkan bahwa pendidikan
sangat penting untuk kehidupan umat manusia (Salahudin, Filsafat Pendidikan, 2011) .
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat
umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan
akan menggunakan hasil – hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran
manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai (Sadulloh, 2012) .
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan
pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif”, dan filsafat
pragmatisme dari John Dewey, dan romatik naturalism dari Rooesseau. Yang kedua,
didasari oleh filsafat idealism, realisme humanism (humanisme rasional), dan
supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat – filsafat tersebut
melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Melalui makalah ini, kami akan membahas mengenai
Aliran Perenialisme dalam Filsafat Pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Pembahasan makalah ini merumuskan masalah sebagai
berikut :
1.
Apa yang menjadi
inti dan pandangan pokok aliran perenialisme dalam filsafat pendidikan ?
2.
Apa pengaruhnya
dalam dunia pendidikan (pandangan aliran perenialisme mengenai pendidikan,
belajar, mengajar, kebijakan di dunia pendidikan yang relevan) ?
3.
Bagaimana potret
guru menurut aliran perenialisme ?
BAB II
ISI
A.
Pandangan Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai
zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan, dan
kesimpangsiuran.
Perenialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai
pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang
telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan Zaman Kuno dan Abad Pertengahan.
Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan – kepercayaan aksiomatis mengenai
pengetahuan, realita dan nilai dari
zaman – zaman tersebut. Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif
adalah berpendapat bahwa nilai – nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi
pembangunan kebudayaan abad ke dua puluh.
Perenialisme merupakan filsafat yang susunan dirinya
merupakan kesatuan. Maka dari itu premis – premis yang disusun merupakan hasil
pikiran yang memberi kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan
lurus. Oleh karenanya tidak sejalan dengan prinsip – prinsip yang
evolusionistis dan naturalistis.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang
lahir pada abad ke duapuluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio kultural. Oleh karena
itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis, adalah dengan jalan
mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip –
prinsip umum yang setelah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman
kuno dan abad pertengahan. Peradaban kuno ( Yunani Purba ) dan abad pertengahan
dianggap sebagai dasar budaya bangsa – bangsa di dunia dari masa ke masa, dari
abad ke abad.
Pandangan – pandangan yang telah menjadi dasar budaya manusia tersebut, telah
teruji kemampuan dan kekukuhannya oleh sejarah.
Pandangan para tokoh mengenai perenialisme yaitu:
1.
Plato
Plato (427-347SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian,
yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme
adalah , manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian
dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing
individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak
berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia dari
asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut plato, “dunia idea”,
bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah
ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi.
Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan
nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan
mengunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
2.
Aritoteles
Aritoteles (348-322SM), adalah murid plato, namun dalam pemikiranya ia
mereaksi terhadap filsafat gurunya. Yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut
filsafat realisme (realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan
gurunya , Plato, yang menekankan rasional spekulatif. Arithoteles mengambil
cara berfikir rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas
prinsip realitas , yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aritoteles hidup pada abad ke empat sebelum masehi, namun ia dinyatakan
sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Arithoteles merupakan dasar
berfikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.
Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai bapak
sains moderen. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan kebajikan, bukanlah
pernyataan atau perenungan pasif, melalaikan merupakan sikap kemauan yang baik
dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus.
Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya dalam kondisi alam materi
dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang
lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna.
3.
Thomas Aquinas
Thomas Aquinas mencoba mempertemukan satu pertentangan yang muncul pada
waktu itu, yaitu antara ajaran kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan
filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran
logis adalah neoplationalisme dan plotinus yang dikembangkan oleh St.
Agustinus. Menurut Aquinas , tidak dapat pertentanganantara filsafat (khususnya
filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (kristen). Keduanya dapat berjalan
dalam jalannya masing-masing. Thomas aquina secara terus menerus dan tanpa
ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aritoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada
, adanya itu karna diciptakan oleh tuhan, dan tergantung kepada-ny.
Mengalir dari tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti
halnya”emansi”. Thomas Aquinas menekankan dua hal dalam pemikiran tentang
relitantanya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar , dan 2)
penciptaan tidak terbatas untuk suatu saat saja, demikian menurut Bertnes
(1979).
Dalam masalah pengetahuan, Yhomas Aquina mengemukakan bahwa pengetahuan
itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan akal budi, menjadi
pengetahuan, selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu , manusia
dapat memperoleh pengetahuan dengan melaui pengalaman dan rasionya, (disini ia mengemukakan
pandangan filsafat idealisme,realisme, dan ajaran gerejanya). Filsafat aquinas disebut tomisme.
Kadang-kadang orang tidak membedakan antara neotonisme dengan perenialisme.
B.
Pengaruh Aliran Perenialisme dalam Dunia Pendidikan
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa
dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti
kita rasakan dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada
kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialisme,
bahwa pendidikan harus lebih mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan
ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai
jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan ideal. Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan, selain
kembali pada prinsip – prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk sikap
kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan
kebudayaan abad pertengahan (Sadulloh, 2012) .
Tujuan dari pendidikan, menurut pemikiran perennialis,
adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip –
prinsip atau gagasan – gagasan besar yang tidak berubah.
Tuntutan tertinggi dalam belajar, menurut perenialisme
adalah latihan dan disiplin mental. Maka teori dan praktek pendidikan haruslah
mengarah kepada tuntutan tersebut. Manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat
rasional dan sifat itulah yang melahirkan konsep dasar tentang kebebasan.
Manusia memiliki senjata yang bersifat rasional tersebut untuk dapat
menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi dan menjadi merdeka.
Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan,
supaya anak didik mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan sengaja. Atas dasar pandangan
tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya adalah belajar
untuk berpikir.
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan
pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains, bidang – bidang yang
merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia untuk dapat menjadi “terpelajar
secara kultural”. Hanya satu pertanyaan untuk bidang kurikulum yang harus
diajukan : Apakah para siswa memperoleh muatan yang merepresentasikan usaha –
usaha yang paling tinggi dalam bidang itu ? Jadi, seorang guru Bahasa Inggris SMU
dapat mengharuskan para siswanya untuk membaca Moby Dick-nya Melville atau sebagian dari drama Shakepeare bukannya
sebuah novel dalam daftar terlaris saat ini. Sama halnya dengan siswa IPA akan
mempelajari mengenai tiga hukum gerakan atau tiga hukum termodinamika bukannya
membangun suatu model penerbangan ulang alik angkasa luar.
Kebijakan di dunia pendidikan yang relevan menyangkut
beberapa prinsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu :
a.
Pada hakikatnya
manusia di mana pun dan kapan pun ia berada adalah sama walaupun lingkungannya
berbeda. Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk
mencapai kebijakan dan kebajikan. Hutckin mengemukakan bahwa pendidikan harus
sama bagi semua orang, dimanapun dan kapanpun ia berada, demikian juga tujuan
pendidikan harus sama yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia.
b.
Manusia harus
menggunakan rasio untuk mengarahkan sifat bawaannya sesuai dengan tujuan yang
ditentukan. Manusia adalah bebas namun mereka harus belajar untuk memperhalus
pikiran dan mengontrol seleranya.
c.
Tugas pendidikan
adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan abadi. Anak
harus diberi pelajaran yang pasti yang akan memperkenalkannya dengan keabadian
dunia. Anak tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampaknya
penting suatu saat saja.
d.
Pendidikan bukan
merupakan peniruan dari hidup melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup.
Di sekolah anak berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial
budaya.
e.
Siswa seharusnya
mempelajari karya – karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah,
filsafat, seni, kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
C.
Potret Guru Menurut Aliran Perenialisme
Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru hendaknya adalah orang yang ahli
bertugas untuk membimbing diskusi yang memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran
– kebenaran yang tepat. Guru dipandang sebagai orang yang mempunyai otoritas
dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
Ny. Berstein mengajar Bahasa Inggris di SMU sejak
pertengahan tahun 1960 – an. Di antara para siswa dan juga para guru, ia
memiliki suatu reputasi sebagai orang yang banyak menuntut. Selama pertengahan
1970 – an, ia memiliki waktu yang sulit untuk berhubungan dengan siswa yang
secara agresif menuntut diajar pelajaran – pelajaran yang “relevan”. Sebagai seorang lulusan universitas top di Timur
Amerika dimana ia menerima suatu pendidikan klasik dan liberal, Nyonya Berstein
menolak untuk memperlonggar penekanan pada karya – karya besar kesusastraan di
kelasnya yang ia rasa perlu diketahui oleh para siswanya, seperti Beowulf,
Chaucher, Dickens, dan Shakespeare.
Ny.
Berstein yakin bahwa kerja dan usaha keras itu penting jika seseorang ingin
memperoleh pendidikan yang baik. Akibatnya, ia memberi siswa kesempatan yang
sangat sedikit untuk berbuat / bertindak salah, dan ia tampak tahan dengan
keluhan siswa yang dilakukan secara terbuka mengenai beban belajarnya. Ia
sangat bersemangat ketika berbicara mengenai nilai karya klasik pada para siswa
yang sedang bersiap – siap hidup sebagai orang dewasa di abad ke duapuluh satu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perenialisme berasal dari kata ‘perenial’ yang
diartikan abadi atau kekal dan dapat berarti tiada akhir. Esensi aliran
perenialisme adalah berpegang pada nilai – nilai atau norma – norma yang
bersifat abadi.
Berikut beberapa pandangan perenialisme mengenai :
-
Kenyataan : Bahwa
apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah realita yang bersifat universal, ada
di mana saja dan sama di setiap waktu.
-
Nilai : Persoalan
nilai adalah persoalan spiritual sebab hakikat manusia adalah pandai jiwanya.
-
Pengetahuan :
Perlu adanya ajaran – ajaran yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah
atau ditolak kebenarannya.
-
Belajar : mental
disiplin sebagai teori dasar, belajar untuk berfikir, belajar sebagai persiapan
hidup.
Prinsip – prinsip perenialisme adalah sebagai berikut
: walaupun lingkungan berbeda pada hakikatnya manusia di mana pun dan kapan pun
ia berada adalah sama, rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi,
tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan
abadi, Pendidikan bukan merupakan peniruan hidup melainkan suatu persiapan
untuk hidup, siswa seharusnya mempelajari karya – karya besar.
Kelebihan dari pandangan perenialisme yaitu :
-
Perenialisme mengangkat
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang menjadi pandangan hidup yang
kokoh pada zaman kuno dan abad pertengahan dan pendidikan lebih banyak
mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
-
Kurikulum
menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk
menjadi terpelajar dan menjadi kultural, para siswa harus berhadapan pada
bidang-bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan
yang diciptakan oleh manusia.
Kelemahan pandangan aliran perenialisme :
-
Pengetahuan
dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan
yang menganut paham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal
yang tidak terkait pada tempat dan waktu aliran ini lebih berorientasi ke masa
lalu.
-
Perenialisme
kurang menerima adanya perubahan-perubahan, karena menurut mereka
perubahan-perubahan banyak menimbulkan kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan
sosiokultural.
-
Dalam proses
belajar mengajar, guru menjadi dominan sehingga seakan tidak memberi kesempatan
kepada siswa untuk turut aktif.
B. Saran
-
Dalam proses
pembelajaran guru harus menyeimbangkan antara pengetahuan dan kegiatan
sehari-hari siswa yaitu dengan menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Guru di kelas tidak hanya menekankan pada satu aspek saja.
-
Tidak semua
pandangan modern baik untuk pendidikan, kita perlu melihat kondisi masa lalu
yang dianggap tradisional atau klasik. Pengetahuan dasar tradisional seperti
membaca, berhitung, budi pekerti, perlu diberikan kepada anak didik di zaman
modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan, 1984.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2012.
Salahudin, Anas. Filsafat
Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar